• Breaking News

    Mamasa VS Tator



    Dalam anggapan tentang kematian, orang Mamasa sama dengan orang Tana Toraja, sebab pada dasarnya juga masyarakat Mamasa mayoritas terdiri dari suku Toraja. Kematian adalah pesta, penguburan harus diiringi dengan penyembelihan ternak yang dibagi-bagikan kepada warga lain. Kepercayaan ini sudah ada sejak dulu, ketika orang masih meyakini Aluk Mappurondo (ajaran lisan) dan Aluk Todollo (kepercayaan nenek moyang), bahkan masih mewarnai kegiatan di masa sekarang, sekalipun mayoritas warga sudah beragama Kristen. Mayat disimpan, didoakan, diiringi pemotongan hewan, dibawa ke tempat pemakaman. Semuanya adalah rangkaian pesta, yang terkadang menghabiskan uang puluhan juta rupiah.

    Sama dengan masyarakat Tana Toraja, orang Mamasa masa lalu tidak mengenal tanah galian untuk makam. Mayat cukup dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti gelondongan kayu berbentuk perahu, atau tedong-tedong (kayu gelondong dibentuk menyerupai kerbau). Kemudian ditempatkan di dalam gua-gua alam (liang toipadan), gua buatan (liang lokko), atau diletakkan begitu saja di tempat terbuka.
    Tak berbeda dengan makam di Tana Toraja yang sangat dikenal sebagai obyek turisme, makam-makam di Mamasa pun "dijual" sebagai obyek wisata. Makam Tedong-tedong Minanga di Desa Balla, misalnya, yang menurut prakiraan peneliti berusia lebih dari 400 tahun.
    Kompleks bukit kecil yang sekarang dikelola Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan itu direnovasi untuk maksud tersebut. Bukan hanya makamnya sendiri yang membutuhkan 123 kubik batu, 450 sak semen, 90 kubik pasir, dan 30 kubik kerikil, tapi juga jalan berliku dari gerbang Penak bikinan proyek ABRI Masuk Desa menuju lokasi sejauh 1,8 km. Dulu hanya jalan setapak selebar tak lebih dari 50 cm, sekarang sudah 3,5 m.
    Bangunan berukuran 6 x 15 m di atas landasan seluas 8,5 x 15 m yang berisi 18 gelondongan kayu berbentuk kerbau dan perahu itu telah menjadi bagian potensi wisata kawasan Mamasa.
    Rumah adat berukuran besar pun ada dua, yakni di Rantebuda (sekitar 3 km di sebelah utara Ibu kota Kecamatan Mamasa) dan di Orobua (berjarak sekitar 8 km), yang sudah ditempati sejak 10 generasi lalu.
    Rumah adat Rambusaratu di Rantebuda misalnya, berukuran sekitar 5 x 20 m, jauh lebih besar daripada rumah-rumah adat di Tana Toraja sekalipun. "Rumah adat di Rantebuda itu mungkin rumah adat Toraja terbesar yang pernah ada,"



    Rumah Mamasa agak beda dengan rumah Toraja, meski secara umum intinya sama: mengambil bentuk sebuah kapal atau perahu. Rumah Mamasa umumnya menghadap berlawanan dengan arus air (sungai Mamasa membelah kota menjadi dua bagian), karena dari arah itulah berkah datang.
    Atap yang menonjol di bagian depan dan belakang disebut longa banna, dan badan rumah terdiri dari bagian-bagian: ba'a (untuk tamu), tambing (kamar tidur pemilik rumah atau wanita dewasa yang belum menikah), lombon (dapur, ruang makan, dan pusat upacara). Ukurannya bermacam-macam. Dari rumah satu kamar (banna salanta') sampai 4 kamar (appa' lanta), biasanya ditentukan status sosial dan tingkat keningratan pemiliknya. Objek lain yang tak kurang menarik adalah air terjun alam. Air terjun Mambulilling di Gunung Mambulilling mi¬salnya, biasa dijangkau turis dengan setengah hari berjalan kaki pulang-pergi. Air terjun Sumbabo yang tingginya 400 m, berjarak sekitar 30 km dari Mamasa, dan air terjun Podamasa yang berjarak 3 km
    dari Sumbabo. Mata air panas alam bertebar di tiga tempat, masing-masing Kola (2,5 km di utara Mamasa), Buntukasisi dan Rantekatoan (di selatan).
    Namun tak sedikit wisatawan mancanegara yang memilih paket tracking (jalan kaki) mengelilingi Mamasa guna mengunjungi sejumlah objek wisata sembari menikmati panorama alam yang indah. Waktu tempuh dan jarak bervariasi, mulai yang tiga jam hingga satu minggu

    No comments