Hati-hati Dengan Pemilik Modal Yang Berdalih Membuka Lapangan Kerja
Ketika kita mendengar para investor, pengusaha, direktur dan manajer
berkata, “… tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan
kerja,” kita perlu waspada. Rasanya, ungkapan itu salah kaprah. Mengapa?
Karena mencampuradukkan antara ‘akibat’ dan ‘tujuan’. Lebih jelasnya:
tak ada pemodal yang berbisnis untuk menciptakan lapangan kerja. Ia
berbisnis untuk mengejar laba dan menumpuk uang. Itulah motif utama,
itulah ‘tujuannya’. Nah, bahwa untuk mengejar tujuan itu ratusan bahkan
ribuan lapangan kerja dibuka, itu adalah ‘akibat’, bukan tujuan.
Sosiolog Inggris, Anthony Giddens (1984)
menyebutnya demikian –lapangan kerja yang tercipta sebagai akibat
pemodal membuka lapangan kerja ini adalah sekedar an unintended
consequence (akibat yang tak dimaksudkan), sedangkan upaya memupuk laba
dan mengakumulasi kapital adalah intended action (tindakan yang
dimaksud). Karena itu, pidato dari para pelaku bisnis seperti di atas
adalah plesetan yang berbahaya. ‘Akibat’ (ex post) diklaim sebagai
‘tujuan’ (ex ante). Namun perlu diingat, argumen ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa bisnis dan laba (atau modal/uang) itu secara inheren
buruk. Itu sebuah kenaifan lain.
Jadi dimana kita harus menempatkan bisnis dalam kaitannya dengan publik?
Selama ini, gagasan kita tentang demokrasi sangat ketinggalan karena
berpusat pada negara. Yaitu, ketika kita meyakini bahwa kekuasaan negara
dan pegawai negara adalah satu-satunya jenis kekuasaan yang menjadi
target demokratisasi. Apalagi ketika para ekonom seperti Milton
Friedman, Fukuyama dan Bank Dunia juga mengatakan hal yang sama: peran
negara musti dibatasi, sedangkan kekuasan bisnis musti diberi privilege,
kemudahan dan diistimewakan. Mengapa? Karena menurut aliran pemikiran
ini negara ada di kawasan publik (res publica), sementara bisnis ada di
kawasan privat (res privata). Benarkah? Nampaknya tidak.
Sektor bisnis mempengaruhi hidup banyak orang. Sebuah proses dan
praktik ekonomi yang menyangkut tabungan-deposito kita, kebutuhan
sandang-pangan-kesehatan kita, dan lapangan kerja suatu masyarakat,
tentu jelas bukan kawasan privat lagi. Proses dan praktik semacam ini
berada di kawasan publik. Karena itu, tidak tepat lagi menempatkan
bisnis di kawasan privat. Konsekuensi lainnya, kriteria kawasan publik
seperti ‘demokrasi’ (dan proses demokratisasi), juga harus dikenakan
pada praktik bisnis persis karena ia juga ada di kawasan itu. Praktik
bisnis haruslah demokratis. Tapi, bukankah mekanisme pasar (misalnya,
penentuan harga) merupakan dinamika demokrasi dalam bisnis?
Rasanya tidak. Mekanisme pasar mungkin membebaskan kita memilih jenis barang atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan. Namun, apakah kita bebas memilih staf manajerial perusahaan itu –termasuk mekanisme penggajian para buruhnya? Apakah kita bisa memilih teknologi produksi yang punya pengaruh langsung pada lingkungan? Apakah kita tahu seluruh proses kontrak kerja, dan pengendalian produksi barang atau jasa itu? Rasanya kita bisa sepakat, bahwa di situ tak pernah ada proses demokratis.
Dan hal ini tidak berhenti sampai di situ. Kita bisa melihat
bagaimana kekuatan bisnis telah mencabut secara de facto kekuasaan para
pejabat pemerintahan dan anggota parlemen. Kebijakan privatisasi,
liberalisasi dan deregulasi yang didesakkan oleh komunitas bisnis
internasional melalui institusi transnasional seperti IMF, World Bank
dan World Trade Organisation terus berlangsung sampai hari ini. Naif
jika kita tidak melihat berkah yang dibawa oleh berbagai kebijakan ini.
Namun, membiarkan seluruh hidup bersama kita diatur olehnya adalah
sebuah kebodohan lain.
Dengan jalan berpikir ini, bisa dipahami bahwa dengan mudah bahwa
kekuasaan bisnis mengancam kekuasaan negara dan pemerintah lewat
relokasi, disinvestasi, capital flight, atau sekadar parkir uang di
bank-bank luar negeri. Makin jelas, bahwa pemerintah dengan berbagai
strategi pembangunan-nya semakin berada di telapak kaki para pemodal
itu. Mau bukti lain?
Penelitian B. Herry-Priyono (2001) memperlihatkan bahwa suburnya KKN
di masa Orba justru menunjukkan bagaimana lemahnya posisi pemerintah
yang digerogoti ketika berinteraksi dengan komunitas bisnis. Maka sangat
keliru jika masalah KKN hanya mau dipecahkan dengan mereformasi
aparatur negara. Mengapa? Karena jelas kekuasaan yang begitu besar dari
bisnis dengan mudah bisa memangsa dan membeli apa saja, termasuk semua
pengacara yang lihai, polisi, dan seluruh jajaran pengadilan
(Herry-Priyono, 2001).
Maka, apakah praktik bisnis demikian ini tidak menyentuh kawasan
publik? Kalau kita masih menganggap perkaranya ada pada dominasi
kekuasaan negara, ada yang salah dengan cara pandang kita. Jelas bahwa
kekuasaan bisnis tidak kalah pengaruh dibanding kekuasaan negara –dalam
banyak hal, bahkan jauh lebih besar.
Maka, paradigma kita rasanya kini perlu digeser, yaitu bahwa sentra
kekuasaan di masyarakat bukan lagi tunggal (monocentris) berpusat pada
institusi negara, tetapi jamak (policentris). Setidaknya, di sana ada
kekuasaan bisnis yang terpusat sedemikian besar yang kini juga perlu
menjadi target demokrasi.
Mereka yang gemar etika mungkin akan bertanya – mengapa harus
‘demokrasi bisnis’ dan bukan ‘etika bisnis’? Jawabnya sederhana: karena
kekuasaan bisnis terlalu digdaya untuk sekedar dikenakan kriteria etis
seperti ‘bertanggung jawab’ (responsible). Kekuasaan bisnis harus dibuat
agar accountable (‘bertanggung gugat’) –dan ini adalah salah satu
kriteria demokrasi.
No comments
Post a Comment