Ada Laporan Transaksi Bisnis Narkoba Sebesar Rp 3,6 Triliun
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat pengguna narkoba pemula maupun coba-coba terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Catatan BNN setiap tahun sejak 2014 pengguna narkoba pemula naik dua persen.
"Tahun 2014 jumlah pengguna narkoba yang coba-coba angkanya 1,5 juta dan di tahun 2015 naik sekitar dua persen menjadi 1,7 juta pengguna baru. Angkanya kecil, tapi kok setiap tahun meningkat," kata Kepala Biro Perencanaan BNN Agus Sudrajat usai menghadiri acara silaturahmi antara BNN dengan Ormas dan LSM Antinarkoba, di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Sabtu (4/6).
Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari mengatakan, sepanjang tahun 2014 - 2016 telah menyidik 6 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil bisnis narkoba. Di mana dari 6 kasus tersebut, BNN sudah menyita kurang lebih Rp 67 miliar.
"Sampai saat ini sudah menyidik 6 kasus, dari mulai 2014-2016. Seluruh kasus ini sudah dilakukan penyidikan dan kita sudah menyita Rp 67 miliar," kata Arman di Gedung BNN, Jakarta, Jumat (19/8).
Arman menjelaskan, Rp 67 miliar yang disita itu terdiri dari beberapa harta benda berharga di antaranya, rumah, mobil, perhiasan. "Baik itu batu mulia, surat berharga, uang simpanan dalam bank dan uang cash," ujar dia.
Dia membeberkan, 6 kasus TPPU itu melibatkan beberapa tersangka. Mereka adalah, Fahrur Razi dengan barang bukti 11 Kg dan 4541 butir ekstasi. Dari Fahrur, BNN menyita uang Rp 16 miliar.
Kemudian, Gunawan Prasetyo yang juga menyeret tersangka lain yakni Toni Chandra. Dari kedua terpidana itu, polisi menyita uang dengan total Rp 17 miliar. Selanjutnya, dari tersangka Togiman alias Toge dan AKP Ikhwan Lubis dengan total aset yang disita sebesar Rp 17,6 miliar.
"Dalam kasus narkoba selalu ada TPPU, seluruh tersangka sudah di LP dan BB yang waktu lalu sudah diperlihatkan," jelas Arman.
Arman menegaskan, pihak BNN tidak akan berhenti sampai di 6 kasus yang tengah disidik itu. Dia memastikan pihaknya akan terus menelusuri dugaan TPPU dalam sejumlah kasus narkoba skala besar.
Bahkan BNN tengah mendalami laporan dari Pusat Pelaporan dana Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait temuan transaksi mencurigakan sebesar Rp 3,6 triliun yang diduga kuat berkaitan dengan bisnis narkoba skala besar. Sebanyak Rp 2,8 triliun, diketahui milik terpidana mati kasus narkoba Poni Chandra.
Arman mengatakan, jika transaksi tersebut terjadi dalam kurun waktu 2014-2015. Sebagian besar uang itu dialirkan Poni ke luar negeri.
"Rp 2,8 triliun kami berkesimpulan perdagangan narkoba. Kemudian uang ini semuanya tidak disimpan dalam negeri. Uang itu tersebar ke 32 bank dan perusahaan di luar negeri," kata Arman.
Menurut Arman, jika BNN sudah mendapatkan data 32 bank dan perusahaan tersebut. Hanya saja, pihak BNN tidak bisa berbuat banyak lantaran adanya aturan dari pihak otoritas negara lain.
"Karena ini menyangkut keamanan dan pelayanan di negara lain," ujar dia.
Arman menutup rapat-rapat informasi negara mana yang dijadikan tempat persembunyian uang Poni. Dia berdalih, informasi itu bisa memicu polemik baru.
"Negara ada, bahkan lengkap dengan nomor rekening dan perusahaan. Ini bersinggungan dengan otoritas negara lain, sehingga tidak boleh dijelaskan. Namun mayoritas penyimpanan ada di negara Asia," tutur dia.
Kendati begitu, Arman mengklaim sudah berkoordinasi dengan polisi luar negeri untuk menelusuri transaksi mencurigakan tersebut.
"Sebagian daftar sudah diberikan kepada penegakan hukum dalam kapasitas masalah money laundry. Semoga ada tindak lanjut dari negara-negara itu," tandas Arman. [merdeka.com]
"Tahun 2014 jumlah pengguna narkoba yang coba-coba angkanya 1,5 juta dan di tahun 2015 naik sekitar dua persen menjadi 1,7 juta pengguna baru. Angkanya kecil, tapi kok setiap tahun meningkat," kata Kepala Biro Perencanaan BNN Agus Sudrajat usai menghadiri acara silaturahmi antara BNN dengan Ormas dan LSM Antinarkoba, di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Sabtu (4/6).
Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari mengatakan, sepanjang tahun 2014 - 2016 telah menyidik 6 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil bisnis narkoba. Di mana dari 6 kasus tersebut, BNN sudah menyita kurang lebih Rp 67 miliar.
"Sampai saat ini sudah menyidik 6 kasus, dari mulai 2014-2016. Seluruh kasus ini sudah dilakukan penyidikan dan kita sudah menyita Rp 67 miliar," kata Arman di Gedung BNN, Jakarta, Jumat (19/8).
Arman menjelaskan, Rp 67 miliar yang disita itu terdiri dari beberapa harta benda berharga di antaranya, rumah, mobil, perhiasan. "Baik itu batu mulia, surat berharga, uang simpanan dalam bank dan uang cash," ujar dia.
Dia membeberkan, 6 kasus TPPU itu melibatkan beberapa tersangka. Mereka adalah, Fahrur Razi dengan barang bukti 11 Kg dan 4541 butir ekstasi. Dari Fahrur, BNN menyita uang Rp 16 miliar.
Kemudian, Gunawan Prasetyo yang juga menyeret tersangka lain yakni Toni Chandra. Dari kedua terpidana itu, polisi menyita uang dengan total Rp 17 miliar. Selanjutnya, dari tersangka Togiman alias Toge dan AKP Ikhwan Lubis dengan total aset yang disita sebesar Rp 17,6 miliar.
"Dalam kasus narkoba selalu ada TPPU, seluruh tersangka sudah di LP dan BB yang waktu lalu sudah diperlihatkan," jelas Arman.
Arman menegaskan, pihak BNN tidak akan berhenti sampai di 6 kasus yang tengah disidik itu. Dia memastikan pihaknya akan terus menelusuri dugaan TPPU dalam sejumlah kasus narkoba skala besar.
Bahkan BNN tengah mendalami laporan dari Pusat Pelaporan dana Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait temuan transaksi mencurigakan sebesar Rp 3,6 triliun yang diduga kuat berkaitan dengan bisnis narkoba skala besar. Sebanyak Rp 2,8 triliun, diketahui milik terpidana mati kasus narkoba Poni Chandra.
Arman mengatakan, jika transaksi tersebut terjadi dalam kurun waktu 2014-2015. Sebagian besar uang itu dialirkan Poni ke luar negeri.
"Rp 2,8 triliun kami berkesimpulan perdagangan narkoba. Kemudian uang ini semuanya tidak disimpan dalam negeri. Uang itu tersebar ke 32 bank dan perusahaan di luar negeri," kata Arman.
Menurut Arman, jika BNN sudah mendapatkan data 32 bank dan perusahaan tersebut. Hanya saja, pihak BNN tidak bisa berbuat banyak lantaran adanya aturan dari pihak otoritas negara lain.
"Karena ini menyangkut keamanan dan pelayanan di negara lain," ujar dia.
Arman menutup rapat-rapat informasi negara mana yang dijadikan tempat persembunyian uang Poni. Dia berdalih, informasi itu bisa memicu polemik baru.
"Negara ada, bahkan lengkap dengan nomor rekening dan perusahaan. Ini bersinggungan dengan otoritas negara lain, sehingga tidak boleh dijelaskan. Namun mayoritas penyimpanan ada di negara Asia," tutur dia.
Kendati begitu, Arman mengklaim sudah berkoordinasi dengan polisi luar negeri untuk menelusuri transaksi mencurigakan tersebut.
"Sebagian daftar sudah diberikan kepada penegakan hukum dalam kapasitas masalah money laundry. Semoga ada tindak lanjut dari negara-negara itu," tandas Arman. [merdeka.com]
No comments
Post a Comment