Filosofi Semboyan Misa' Kada Di Potuo Pantan Kada Di Pomate
Tana Toraja, sebuah kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan, yang namannya sudah terkenal di manca negara karena keanekaragaman budayanya. Tana Toraja memliki luas area sekitar 3.203 kilometer persegi, sebelum kabupaten ini dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.
Memasuki Kabupaten Tana Toraja, kita akan di sambut oleh dua buah pintu gerbang, dengan arsitektur khas Tana Toraja yang di atasnya terdapat miniatur Tongkonan, yaitu rumah adat Toraja dan hampir seluruh bagian gerbang itu sarat dengan ukiran Toraja, yang bentuknya sangat unik dan hampir tak ada samanya di seluruh negeri ini.
Perbedaan kedua pintu gerbang itu hanyalah yang satu gerbang lama dan yang satunya gerbang baru. Selain itu juga dari warnanya, pintu gerbang yang satu didominasi oleh warna putih, dan di atasnya, selain miniatur Tongkonan, terdapat juga patung yang berpakaian adat khas Toraja. Di salah satu gerbang itu ada tercantum kalimat Misa' kada di potuo Pantan kada di pomate.
Kalimat Misa' kada di potuo Pantan kada di pomate adalah semboyan luhur Kabupaten Tana Toraja, salah satu petuah dari leluhur yang mendasari kehidupan masyarakat Tana Toraja di masa kini, di mana pun mereka berada. Kalimat adiluhur dari bahasa tinggi Toraja yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira maknanya adalah “Satu Pendapat Membuat Kita Bisa Hidup Bersama, Namun Bila Masing-Masing Mempertahankan Perbedaan Pendapat Akan Membuat Semuanya Berakhir dengan Kematian atau Kehancuran”. Kalimat ini senantiasa mewarnai kehidupan adat budaya masyarakat Tana Toraja.
Salah satu contoh bagaimana kalimat Misa' kada di potuo Pantan kada di pomate hadir memberi warna dan menjadi landasan filososofis dapat kita lihat pada pelaksanaan ritual adat Rambu Solo, yaitu prosesi adat pemakaman masyarakat Tana Toraja.
Yang terlihat pada saat itu hanyalah puncak dari ritual Rambu Solo yang sungguh terlihat begitu meriah namun bertabur duka yang sangat mendalam. Ada beberapa hal sebelum menuju puncak Rambu Solo yang tidak terlihat oleh mata para awam, atau oleh para turis manca negara dan lokal. Sebuah persiapan menuju acara Puncak Rambu Solo, yang dilakukan jauh hari sebelum puncak Rambu Solo diadakan.
Di mana tanpa filosofi dari kalimat tersebut, yang menjadi landasan segala kegiatan, maka puncak Rambu Solo tidak pernah akan tercapai. Mulai dari pertemuan para tetua adat dan kepala-kepala kampung serta tokoh-tokoh masyarakat dan berbagai element masyarakat dilibatkan dalam persiapan pelaksanaan Rambu Solo.
Dalam pertemuan itu harus disepakati secara bersama oleh semua pihak, satu suara satu pendapat, bahwa ada aturan-aturan adat yang menjadi patron terlaksananya Rambu Solo ini, tidak boleh ada satu pihak pun yang berpendapat lain dan merasa boleh mengabaikan aturan adat yang telah diwariskan turun temurun oleh para leluhur, tidak juga oleh keluarga yang sedang berduka.
Dan apabila sudah ada kesepakatan, berapa biaya yang disediakan oleh keluarga yang berduka, termasuk penentuan hari, dan berapa pondok akan dibuat serta berapa ekor kerbau dan babi yang akan disembelih, maka masyarakat sudah diperbolehkan untuk mengambil bambu dan mempersiapkan pondok-pondok atau dalam bahasa Toraja disebut Lantang, untuk menerima para tamu, keluarga dan handai tolan yang akan datang untuk turut berbelasungkawa dan menyatakan turut berduka cita.
Mengambil dan menebang bambu untuk keperluan Rambu Solo juga tidak dilakukan sembarangan. Dalam rapat sebelumya sudah diputuskan, di mana bambu harus diambil dan bambu usia berapa yang bisa ditebang, serta jumlahnya berapa. Tak bisa asal tebang saja, semuanya sudah di atur dalam adat istiadat Tana Toraja. Hal ini terkait dengan pelestarian alam Tana Toraja, jadi sudah sejak dulu masyarakat Tana Toraja sudah mengenal yang namanya pelestarian alam.
Tanpa adanya persatuan dan kesatuan serta kesepakatan dalam menentukan pendapat, maka semua pendapat hasil keputusan dalam rapat mustahil bisa terlaksana. Namun karena dalam diri masyarakat Tana Toraja, filosofis dari semboyan Misa' kada di potuo Pantan kada di pomate sudah mendarah daging, maka semua itu menjadi mudah adanya. Segala sesuatunya dilakukan dalam satu bahasa satu kata dan satu tindakan, yang terwujud dalam kebersamaan dan gotong royong, tak ada yang berjalan sendirian, semuanya saling bahu membahu.
Biaya-biaya yang muncul dalam pelaksanaan Rambu Solo ini ditanggung bersama oleh keluarga yang berduka dan para kerabatnya. Pihak keluarga dan kerabat serta handai taulan turut membantu memberikan bantuan berupa beras, gula, kopi dan rokok serta kue-kue. Semua pihak yang merasa ada kaitannya dengan keluarga yang berduka juga turut memberikan bantuan, bila tak bisa memberikan dalam bentuk dana, maka mereka memberikan dalam bentuk tenaga.dan doa.
Yang pasti, selama Rambu Solo diadakan di Tana Toraja, saya tak pernah melihat keluarga yang berduka menanggung sendiri biaya pelaksanaannya, selalu saja mereka terbantu oleh masyarakat yang merasa ada keterkaitan dengan keluarga yang berduka, entah mereka berasal dari Tana Toraja sendiri, atau dari luar Tana Toraja, bahkan dari Luar Negeri. Sehingga tak heran saat pelaksanaan Rambu Solo ini, juga seolah-olah menjadi ajang reuni bagi keluarga, karena mereka semua berdatangan dari berbagai penjuru negeri.
Pada puncak ritual Rambu Solo, saat proses “Mantunu” telah dilaksanakan, yaitu ketika kerbau-kerbau sudah disembelih oleh "Patinggoro" (tukang potong kerbau), maka pembagian daging-dagingnya pun tidak boleh asal-asalan. Semuanya harus melalui proses kesepakatan kepada siapa saja daging-daging itu akan dibagikan/ Dan bila kesepakatan telah tercapai maka pembagian daging-pun bisa dilaksanakan, sehingga saat pembagian telah usai, tak ada pihak yang protes, karena semua telah sepakat akan pembagian tersebut.
Ketika tiba pada hari di mana jenazah akan dibawah ke tempat peristirahatan terakhirnya, hal ini juga sudah melalui kesepakatan dan pendapat bersama. Bilamana tempat peristirahatan yang terakhir sudah disepakati, apakah itu di kubur dalam Liang atau Goa Batu, atau di dalam Patani, yakni rumah yang dibuat khusus untuk menyimpan jenazah, maka ke sanalah jenazah dibawah.
Sampai saat ini, masyarakat Tana Toraja memegang teguh filosofi Misa' kada di potuo Pantan kada di pomate sebagai landasan kehidupan sehari-hari. Dan hal itu memang terbukti, bahwa satu pendapat bisa membuat kita hidup bersama, dan mempertahankan perbedaan dalam pendapat hanya membawa kehidupan dalam kehancuran atau kematian.
Tak heran bila masyarakat Tana Toraja di manapun mereka berada hingga kini, selalu rukun dan damai, saling merindukan saling menyayangi serta saling menolong dan membantu sesama masyarakat Tana Toraja.
No comments
Post a Comment