Mengalami pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba memang menjadi
mimpi buruk bagi seorang karyawan. Terlebih, bila belum sempat
menyiapkan diri untuk mata pencaharian di kemudian hari.
Kalut? Wajar. Merasa kehilangan harapan? Boleh saja. Namun, jangan
juga terlarut terlalu lama karena kehidupan terus berjalan. “Berdasarkan
pengalaman, kebanyakan orang memang akan memiliki reaksi emosional yang
sama,” kataHarucha Aly LPC, psikolog dari RS Bunda Jakarta.
Tetapi bagaimana jika yang terkena PHK adalah suami
sebagai tulang punggung keluarga? “Sebaiknya istri berusaha memberisupport
, mendengarkan setiap keluhannya, dan turunkan pikiran bahwa pasangan
adalah tulang punggung keluarga. Berusaha tingkatkan pengetahuan secara
psikologis mengenai apa yang dirasakan pasangan. Dan tentu, harus tenang
atas reaksi-reaksi yang timbul pada pasangan,” ujar Harucha.
MenurutThe Society for the Psychological Study of Social Issues’ Policy Statement: “The Psychological Consequences of Unemployment”,
pengangguran dapat menyebabkan penurunan individu dan kesejahteraan
keluarga (Belle & Bullock, 2011). “Maka bisa saja, efek PHK akan
berimbas ke anak-anak juga.”
Pasalnya, hal ini berpotensi memunculkan rasa stres dan gejala
depresi sehingga berefek negatif dalam mendisiplinkan anak. “Pola
mendisiplinkan anak jadi cenderung ingin menghukum anak-anak tanpa
memedulikan aspek lainnya. Bila sebelum PHK saat anak bolos sekolah
tidak boleh keluar rumah, misalnya, sekarang malah jadi meniadakan
kesukaan anak.”
Akibatnya, anak bisa-bisa menjadi lebih stres dan depresi. “Efek
kelanjutannya, anak bisa jadi memiliki problem akademis, menggunakan
narkoba, dan alami masalah kesehatan fisik juga hubungan sosial.”
Sebaiknya, pihak yang terkena PHK harus kecenderungan pola pikir yang
lebih logis. “Cobalah bersyukur atas hal-hal yang masih dimiliki dalam
hidupnya. Misalnya, istri dan anak yang saling membantu dan menyayangi.
No comments
Post a Comment