Beberapa malam yang lalu, dalam suatu acara
pertemuan antar para nasabah private banking di salah satu hotel mewah
di kawasan ibukota, mencuat kekhawatiran para pemegang uang bahwa
Amerika benar-benar akan mengalami default. Bahkan beberapa investor
kelas kakap, sempat gempar ketika pembawa acara menyampaikan bahwa
dollar sudah tamat riwayat, dollar is a dying currency, begitu ujar
seorang ekonom terkenal.
Padahal, jauh sebelum itu, saya sudah pernah menulis di kompasiana,
bahwa suatu saat Amerika akan hancur dan dollar akan jatuh ditinggalkan
oleh banyak investor maupun bank sentral di seluruh dunia.
Namun akhirnya waktu juga yang menjawab, kini di hari-hari terakhir ini,
begitu banyak investor cemas dan panik akan nasib mata uang yang pernah
jaya ini. Akibat kepanikan itu, harga emas diramalkan akan melonjak
hingga USD 1600 per troy ounce di akhir tahun.
Saya sendiri termasuk yang percaya, suatu saat harga emas akan terbang
ke level 5000 USD per troy ounce, ini bukan mengarang-ngarang, tapi
Amerika punya keterbatasan finansial dan cetak uang. Jika Amerika terus
menerus cetak uang, sementara kemampuan plafon kreditnya (meskipun
dinaikan beberapa kali) juga terbatas, suatu saat mata uang ini akan
kolaps dan bernasib sama dengan Zimbahwe.
Sementara hari-hari-hari ini kita semua cemas dan gigit jari menanti
keputusan final apakah Presiden Obama berhasil meyakinkan kongres
Amerika agar usulannya untuk merevisi budget dan melakukan pemangkasan
anggaran, menaikan pajak serta menaikan plafon kredit berhasil disetujui
oleh parlemen atau tidak.
Lantas bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah negara kita akan terimbas,
dan seberapa parah imbasnya bagi negara kita? Pertama-tama harus dilihat
dulu, bagaimana struktur makro perekonomian negeri kita yang tercinta
ini. Indonesia adalah pengekspor energy dan komoditas, dari mulai gas,
batu bara, CPO (minyak kelapa sawit), logam dan mineral hasil tambang
serta lainnya. Kita juga mengekspor beberapa kebutuhan sandang, seperti
sepatu, pakaian, tas, kulit mentah (untuk diolah menjadi bahan baku tas
dan sepatu), dan lain sebagainya.
Saat ini, Amerika masih menjadi salah satu tujuan utama ekspor kita,
jika Amerika guncang kembali, tentu saja ekspor kita akan terpukul.
Namun kita masih punya pasar dalam negeri yang kuat, meskipun banyak
pihak baik pelaku industri maupun pengamat ekonomi pesimis akan
kemampuan daya serap pasar dalam negeri. Justru di sini peranan penting
pemerintah dalam menjaga stabilitas daya serap hasil industri oleh
konsumen dalam negeri untuk terus tetap dijaga.
Di sisi lain, kita adalah importir minyak, sedikit banyak anggaran
belanja negara kita ditentukan oleh fluktuasi harga minyak dunia. Jika
pertumbuhan ekonomi gagal atau melambat, harga minyak akan turun
kembali, dan anggaran pengeluaran negara kita akan membaik. Namun ekspor
non minyak kita juga akan terpukul, karena harus dialihkan ke negara
lain, atau jika tidak laku, ya terpaksa di konsumsi dalam negeri.
Lantas bagaimana dengan bursa saham dan pasar uang di dalam negeri? Hal
ini tidak perlu terlalu dicemaskan, saat ini kita kebanjiran hot money
dalam jumlah fantastis sepanjang sejarah. Seandainya pasar terguncang
hebat, rupiah dan pasar modal memang akan goyang sebentar, tapi pada
akhirnya, pasar akan bersikap rasional, dan kembali memburu asset-asset
di emerging market yang memiliki fundamental ekonomi yang sangat kuat.
Dan saat ini di seluruh dunia hanya ada dua emerging market yang
menarik, yakni Brazil dan Indonesia. Brazil sendiri tidak begitu disukai
karena mengenakan pajak atas aliran hot money. Indonesia tidak, tentu
saja uang akan lebih deras mengalir ke Indonesia sesudah pasar sadar
tidak lagi bisa berharap ke ekonomi negara-negara maju.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemerintah kita sudah siap
mengantisipasi aliran hot money ini? Saat ini yang benar-benar sangat
dibutuhkan oleh para investor adalah ketersediaan infrastruktur dari
mulai listrik, jalan raya, jalan tol, rel kereta api, transportasi
massal sekelas MRT Skytrain dan MRT Subway selain Busway, dan juga
infrastruktur kawasan-kawasan industri di luar jawa agar terjadi
pemerataan pembangunan.
Kenyataannya, daya serap kita terhadap aliran hot money ini sangat
lemah, bahkan setiap tahun selalu terjadi kelebihan anggaran di mana
anggaran belanja tidak terserap oleh daerah karena lemahnya implementasi
pembangunan infrastruktur akibat benturan berbagai kepentingan dan
proyek-proyek titipan. Semoga kita semua sadar, bahwa pada saatnya kita
harus meninggalkan budaya proyek dan korupsi dan mulai memikirkan
kemajuan negara kita bersama-sama. Salam.
No comments
Post a Comment