Ciri Khas Orang Toraja Tak Lekang Oleh Waktu
Suku Toraja, adalah suatu suku-bangsa yang mendiami dataran tinggi Sulawesi Selatan. Suku Toraja selain di Sulawesi Selatan terdapat juga pemukiman orang-orang Toraja di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Populasi suku Toraja diperkirakan lebih dari 1.000.000 orang.
Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti kata Toraja,itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:
A.Ad mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis sidenreng.Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu.Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja, beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.
Suku Toraja ini adalah sebagai salah satu suku asli dari bangsa protomalayan (proto malayo) yang terdapat di pulau Sulawesi, mereka merupakan salah satu suku tertua di Indonesia, seperti suku Dayak, Batak, Sasak, Wajo, Ranau dan lain-lain, yang diduga telah hadir di bumi Indonesia ini dalam gelombang migrasi para bangsa protomalayan sekitar 7000 tahun yang lalu. Diperkirakan masuknya bangsa Toraja ini melalui Formosa.
BAHASA YANG DI GUNAKAN SUKU TORAJA
Suku Toraja berbicara dalam bahasa Toraja, yang memiliki keterkaitan kekerabatan dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi, seperti dengan bahasa Bugis, Makasar, Mandar serta dengan bahasa-bahasa di Filipina serta dengan beberapa bahasa di Formosa Taiwan. Bahasa Toraja memiliki beberapa dialek yang tersebar di beberapa kecamatan dan kabupaten di Sulawesi Selatan. Selain itu bahasa Toraja juga diucapkan di sebagian wilayah di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Berdasarkan bahasa, Bahasa Toraja-Sa’dan memiliki beberapa dialek, antara lain :
Makale (Tallulembangna) Rantepao (Kesu’) Toraja Barat(Mappa-Pana) Suku Toraja sebenarnya terdiri dari beberapa sub-kelompok (sub suku), salah satunya adalah suku Seko Lemo yang menurut penuturan orang Seko Lemo, bahwa mereka berasal dari Toraja, yang bermigrasi ke wilayah Seko sekitar tahun 1700. Di Palopo ada Toraja Makale-Rantepao, Bastem, dan Rongkong. Juga ada Toraja Sa’dan. Selain itu ada suku Enrekang, Duri, Marowangin dan Palopo, yang merupakan suku campuran antara Toraja dan Bugis, yang sering dinyatakan sebagai sub-suku Toraja dan juga sebagai sub-suku Bugis. Pada beberapa tulisan di web, suku Kaili, Pamona, Mori juga dikategorikan sebagai sub-suku Toraja, dan ada juga suku Rampi dan Kalekaju.
Masyarakat suku Toraja mayoritas adalah pemeluk agama Kristen (Protestan, Katholik, Advent, Pentakosta dan lain-lain) dan sebagian kecil tetap mempertahankan agama asli mereka, yaitu agama Aluk To Dolo dan lainnya memeluk agama Islam.
Pada awalnya suku Toraja adalah penganut kepercayaan animisme dan sangat terisolasi di daerah pegunungan, menutup diri dari dunia luar. Keberadaan suku Toraja hingga sampai awal abad ke-20 tidak diketahui, hingga akhhirnya para misionaris Belanda menelusuri hutan pegunungan di Sulawesi Selatan dan menemukan komunitas masyarakat yang pada masa itu masih melakukan ritual-ritual animisme. Pada awal tahun 1900, misionaris Belanda memperkenalkan agama Kristen ke dalam kalangan masyarakat suku Toraja.
RUMAH ADAT ORANG TORAJA
Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.
Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio’aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio’aluk. Sementara itu, batu a’riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkona
RITUAL KEMATIAN MASYARAKAT TORAJA
(RAMBU SOLO`)
RAMBU SOLO’ adalah: adat warisan nenek moyang yang patut kita jaga dan lestarikan dengan tidak `harus` membebani diri,rambu solo, merupakan upacara ritual kematian yang memang membtuhkan dana yang sangat besar, bahkan ratusan juta.Bagi suku Toraja(sulawesi selatan,indonesia), Rambu Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.
MA’BADONG
Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja.
Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria, baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. Para penari (pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam.
Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Suasana malam itu menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka.
Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau syair tersebut disebut “BATING” . Bating ini di suarakan oleh Indo’ badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.
Tarian bergantian, sambung menyambung di pelataran Tongkonan tempat ritual digelar. Lama tarian ma’badong ini biasanya menelan waktu berjam-jam, semalam suntuk, bahkan terkadang berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.
Adapun, orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.
Mapasilaga
Salah satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adat Mapasilaga Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan. Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi kerbau aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.
Sebelum upacara adat berlangsung, puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lokasi upacara. Kerbau-kerbau tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Adu kerbau kemudian dilakukan di sawah, dimulai dengan adu kerbau bule. Adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.
Kerbau adalah hewan yang dianggap suci oleh suku Toraja. Kegiatan budaya ini biasanya ditampilkan saat Upacara Adat Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.
Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.
MITOS
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa Toraja).
Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau corak di peralatan rumah tangga.
Di Ke’te’ Kesu’, ada sebuah workshop sederhana lokasi pembuatan ukir-ukiran khas Toraja. Lokasi workshop ini berada di deretan ujung Tongkonan paling belakang, yang terjauh dari pintu kedatangan. Di workshop ini, aneka macam ukir-ukiran digantung di dinding sementara itu seorang bapak dengan putranya sibuk mengukir sebuah papan dengan motif tertentu. Papan yang digunakan memang khusus. Melihat mereka mencungkil dan menggurat papan tersebut terlihat menyenangkan dan membuat saya ingin mencobanya. Padahal, papan tersebut lumayan keras loch. Namun, saya melihat mereka seakan-akan menggurat permukaan kue atau lilin saja. Begitu empuknya.
UKIRAN ORANG TORAJA
Ukir-ukiran Toraja umumnya berbentuk suatu motif tertentu walaupun ada juga yang spesial seperti ayam jantan, angsa, Tongkonan dan pemandangan. Motif-motif ukiran umumnya memiliki nama seperti Pa’ Tedong untuk ukiran motif kerbau dan Pa’ Erong untuk ukiran motif peti mati. Motif-motif yang diukir umumnya berbentuk melingkar, bulat, kotak-kotak dan bersiku. Warnanya sendiri kurang lebih hitam (warna dasar papan kayu), putih, merah dan kekuningan. Warna-warna ini diambil dari alam semua. Jadi bisa dikatakan pewarnaan ukiran berlangsung alami. Misalnya saja warna kekuningan berasal dari tanah liat dan putih berasal dari getah. Uniknya, setelah kering, warna-warna ini tidak luntur namun bersifat seperti warna cat pada umumnya.
Source : soldomi.wordpress.com
No comments
Post a Comment